stateless
/ tanpa kewarganegaraan dari ras Indo-Aryan people dan berasal dari daerah negara bagian Rakhine (dibaca: “rahain”) Myanmar.
Diperkirakan sekitar 1 juta orang Rohingya hidup di Myanmar. Mayoritas beragama
Islam dan sebagian kecil diantaranya beragama Hindu. Digambarkan oleh dunia
barat sebagai "one of the most persecuted minorities in the world" –
“salah satu minoritas paling tersiksa di dunia”. Hampir semua populasi Rohingya
dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Undang – Undang Kewarganegaraan
tahun 1982, undang – undang ini melarang pemberian Kewarganegaraan Penuh / Full
Citizenship kepada semua imigran yang masuk ke Myanmar setelah tahun 1823. Orang Rohingya juga dilarang
keluar dari wilayah Rakhine, dilarang menempuh pendidikan di sekolah – sekolah
negeri, dan dilarang bekerja di lapangan kerja formal. Meskipun telah
dijanjikan akan persamaan hak sebagai warga negara oleh pemimpin terbaru
Myanmar Aung San,
orang – orang Rohingya tetap mengalami beberapa kali penyerangan oleh
pihak militer Myanmar, yaitu tahun 1978,
1991 – 1992, 2012, 2015, dan 2016 – 2017.
Agama Islam masuk ke negara bagian Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan) sejak abad ke 15 Masehi, meskipun jumlah penduduk muslim sebelum masa pendudukan Inggris tidak terdata dengan jelas. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang asal muasal orang – orang Rohingya, kata “Rohingya” sendiri berasal dari kata “Rooinga” yang pertama kali mencuat tahun 1799 dalam sebuah artikel tentang sebuah bahasa yang digunakan oleh umat muslim di daerah Arakan dan di klaim sebagai penduduk asli Arakan. Pada tahun 1826, setelah perang First Anglo-Burmese War, bangsa Inggris menguasai wilayah Arakan dan mendorong migrasi penduduk dari wilayah Bengal (Bangladesh) untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Populasi muslim diperkirakan sebesar 5 % dari total populasi di wilayah Arakan pada tahun 1869 dan jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun – tahun sebelumnya. Sensus penduduk yang dilakukan oleh Kolonial Inggris pada tahun 1872 dan 1911 mencatat peningkatan jumlah populasi muslim dari 58.255 orang menjadi 178.647 orang di distrik Akyab wilayah Arakan.
Setelah kemerdekaan Myanmar tahun 1948, laskar pejuang Mujahidin yang dahulu melawan penjajah Inggris, berubah menjadi pemberontak terhadap pemerintah Myanmar dengan tujuan untuk bergabung dengan Pakistan Timur dan berlanjut hingga tahun 1960 an bersamaan dengan Gerakan Kemerdekaan Arkan yang dilakukan oleh orang – orang Rakhine yang beragama Budha. Pemberontakan – pemberontakan ini meninggalkan bekas berupa ketidak percayaan dan saling curiga antara komunitas Muslim dan Budha. Pada tahun 1982 pemerintahan Jenderal Ne Win ( General Ne Win) memberlakukan Undang – Undang Kewarganegaraan Burma ( Burmese nationality law) yang mencabut kewarganegaraan penduduk Rohingya, sehingga mengakibatkan mayoritas penduduk Rohingya menjadi rakyat Tanpa Kewarganegaraan.
Setelah krisis pengungsi Rohingya tahun 2015 dan penyerangan oleh militer tahun 2016 – 2017, jumlah penduduk Rohingya yang hidup di Myanmar diperkirakan sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta orang. Sebagian besar mereka tinggal di sekitar kota Rakhine 80 % s/d 98 %. Banyak orang – orang Rohingya yang mengungsi ke negara – negara tetangga seperti Bangladesh, daerah perbatasan Thailand, dan ke kota Karachi ibukota Pakistan. Lebih dari 100.000 orang penduduk Rohingya hidup ditahan di camp – camp penampungan militer Myanmar. PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) telah menemukan bukti adanya peningkatan gerakan kebencian dan intoleransi agama yang dilakukan oleh gerakan radikal Budha terhadap orang – orang Rohingya, sementara pihak keamanan Myanmar melakukan pembunuhan terencana, penculikan, penahanan tanpa bukti, penyiksaan, dan kerja paksa terhadap orang – orang Rohingya. Karena hal – hal inilah, maka kalangan Media Massa Internasional dan Organisasi – Organisasi Kemanusiaan menggambarkan orang – orang Rohingya sebagai “one of the most persecuted minorities in the world” - salah satu minoritas paling tersiksa di dunia.
Berdasarkan pernyataan resmi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rohingya termasuk kategori “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan” "Crimes against Humanity".
Orang – orang Rohingya mendapatkan perhatian dunia setelah terjadi kerusuhan massal Rakhine tahun 2012, krisis pengungsi Rohingya 2015, dan penyerangan oleh militer tahun 2016 – 2017.
LEBIH DALAM MENGENAI SEJARAH MASA LALU ROHINGYA
Tragedi kemanusiaan
Rohingya tidaklah sederhana, tetapi berasal dari sejarah panjang dan penuh
hiruk pikuk.
Berikut kisah lebih
lanjut mengenai asal usul tragedi kemanusiaan ini;
- Era Kerajaan Mrauk U
Berdasarkan bukti
– bukti sejarah Muslim Bengali, pada masa ini wilayah Arakan dipimpin oleh Min Saw Mon (1430 – 1434) dari kerajaan Kingdom of Mrauk U.
Setelah 24 tahun
diasingkan dari Bengal, Min Saw Mon menguasai tahta Arakanese pada tahun 1430
dengan bantuan militer dari Kesultanan Bengal Bengal Sultanate. Orang – orang Bengal yang datang
bersamanya membentuk kerajaan sendiri di Arakan.
Uang koin dari
Arakan yang digunakan di wilayah pendudukan Kesultanan Bengal
Min Saw Mon menyerahkan
beberapa wilayahnya kepada Sultan Bengal dan menyatakan berdaulat kepada Sultan
Bengal. Sebagai penghargaan terhadap tunduknya Min Saw Mon kepada Sultan
Bengal, Raja Arakan ini mendapatkan gelar islam dan diperbolehkan menggunakan
mata uang Bengal yaitu gold
dinar . Min Saw Mon mencetak
mata uang koin nya sendiri dengan tulisan huruf Burma di satu sisi dan huruf
Persia di sisi lainnya.
Tunduknya Arakan kepada
Sultan Bengal berlangsung singkat. Setelah kematian Sultan Jalaluddin Muhammad Shah pada tahun 1433, Arakan menyerang Bengal dan
berhasil menguasai wilayah Ramu pada
tahun 1437 dan wilayah Chittagong 1459. Arakan berhasil mempertahankan
Chittagong sampai dengan tahun 1666.
Setelah mendapatkan kemerdekaan
dari Sultan Bengal, muslim mencapai masa kejayaannya di kerajaan Arakan. Raja –
raja Budha yang berhasil ditundukkan juga diharuskan mengikuti aturan – aturan
islami yang diterapkan. Raja – raja Budha dari daerah – daerah koloni Arkan
juga diharuskan mempekerjakan orang – orang muslim di posisi – posisi penting
administrasi kerajaan mereka.
Populasi rakyat muslim Bengal di Arkan meningkat tajam pada abad ke 17 M dan
bekerja di berbagai bidang. Banyak diantaranya bekerja sebagai penulis bahasa
Bengali, Persia, dan Arab di pengadilan – pengadilan Arkan, yang meskipun
bersistem Budha tetapi banyak mengadaptasi hukum – hukum Islam dari Kesultanan
Bengal. Suku Kamein, yang dianggap sebagai salah satu
suku asli Myanmar adalah keturunan dari muslim Bengal ini. Pada abad ke 17 M
ini puluhan ribu muslim Bengal ditangkap oleh pasukan Arkan untuk dijadikan
pelayan raja, dijual sebagai budak, dan dipaksa untuk hidup di wilayah Arakan. - Era Penaklukan Burma
Setelah Dinasti
Konbaung (suku Bamar – suku mayoritas di Myanmar) menaklukkan Arakan pada tahun
1785, sebanyak 35.000 penduduk Rakhine mengungsi ke Chittagong yang merupakan daerah Bengal jajahan Inggris dengan
tujuan mencari perlindungan kepada Raja Chittagong bentukan Inggris dari siksaan
orang – orang Bamar. Orang – orang Bamar membunuh ribuan pria Rakhine dan
memindahkan sebagian populasi di Rakhine ke Burma (Myanmar) tengah,
meninggalkan Arakan sebagai daerah yang nyaris tak berpenduduk sampai saat
dikuasai oleh Inggris.
- Era Penjajahan Inggris
Pemerintah kolonial
Inggris mengeluarkan kebijakan migrasi besar – besaran penduduk Bengal di
wilayah yang sekarang menjadi negara Bangladesh menuju ke Arakan (nama lain
Rakhine) untuk bekerja di area perkebunan. Pada masa itu, tidak terdapat batas
negara antara wilayah Bengal dan Arakan. Penduduk asli dan suku – suku tradisional
Myanmar dipaksa untuk menerima ratusan ribu bangsa keturunan ras India dari
Bengal ini.
Penduduk asli
Rakhine (kebetulan beragama Hindu dan Budha) menjadi minoritas di tanah mereka
sendiri. Pemerintah kolonial Inggris pada
tahun 1939 membentuk komisi penyelidikan yang di pimpin oleh James Ester dan
Tin Tut untuk mempelajari efek imigrasi ini dan komisi ini merekomendasikan
untuk menutup perbatasan Bengal – Arakan. Tetapi perkembangan situasi perang
dunia ke II memaksa Inggris mundur dari wilayah Arakan sebelum melaksanakan
penutupan perbatasan ini.
- Era Penaklukan Jepang
Pada masa Perang
Dunia ke II Pasukan Kekeisaran Jepang menginvasi semua wilayah Myanmar jajahan
Inggris British-controlled
Burma
termasuk wilayah Arakan. Pasukan Inggris mundur ke Bangladesh dan meninggalkan
kevakuman pemerintahan.
Pasukan Inggris
meninggalkan pasukan orang – orang Rohingya bentukan
tentara Inggris bernama V Force
dengan tujuan untuk menahan laju pasukan Jepang dan mengatasi perlawanan
pasukan etnis Rakhine pro Jepang. Strategi Inggris ini menimbulkan pertempuran
dan tindak kekerasan antara kelompok pro Inggris dengan pejuang – pejuang
Myanmar (cenderung pro Jepang).
Aye Chan seorang sejarawan dari Kanada
University menuliskan bahwa pasukan V Force ini akhirnya lebih berkonsentrasi
untuk berusaha menghancurkan desa – desa tradisional “orang – orang asli Arakan”
(Rakhines) termasuk menghancurkan banyak tempat ibadah umat Budha daripada
menahan laju serangan Jepang. Pada Maret 1942, orang – orang Rohingya dari
utara membunuh sekitar 20.000 orang – orang Rakhines. Dan sebaliknya sekitar
5.000 penduduk muslim di wilayah Minbya dan Mrauk-U Townships terbunuh oleh Rakhines dan pasukan Red Karens. Salah satu tragedi yang terjadi
adalah tragedi pembunuhan massal Arakan massacres in 1942
Seperti umumnya
di wilayah yang di invasinya, tentara Jepang juga banyak melakukan pemerkosaan,
pembunuhan, dan penyiksaan terhadap penduduk muslim di Arakan. Pada masa ini
diperkirakan sekitar 22.000 muslim Arakan mengungsi ke wilayah Bengal untuk
menghindari penyiksaan Jepang. - Era Pergerakan Kemerdekaan Pakistan dan Paska Perang Dunia II
Tahun 1948 Burma
/ Myanmar memperoleh kemerdekaan sebagai bagian dari Negara Persemakmuran
Inggris / Great Britain, dan pemerintahan Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai
rakyat Myanmar. Orang – orang Myanmar merasa sebagai korban Inggris, sementara
orang – orang Rakhine (Rakhines) merasa sebagai korban Inggris dan Myanmar. Kedua
kelompok ini lebih menonjolkan diri sebagai sesama korban perang sehingga
menghilangkan simpati kepada kepada Rohingya / orang – orang Rohingya.
Pada masa – masa Pergerakan
Kemerdekaan Pakistan tahun 1940 an, Muslim Rohingya di Myanmar barat membentuk
gerakan separatis untuk bergabung dengan Pakistan Timur East Pakistan . Sebelum kemerdekaan Myanmar 1948,
pemimpin muslim dari Arakan meminta bantuan Muhammad
Ali Jinnah,
pendiri Pakistan untuk mengakui wilayah Rakhine terutama daerah Mayu sebagai
bagian dari Pakistan berdasarkan persamaan agama dan kemiripan geografi. Dua bulan
kemudian terbentuk Liga Muslim Arakan di Akyab yang menghasilkan Deklarasi
untuk bergabung dengan Pakistan. Deklarasi
ini ditolak oleh Muhammad Ali Jinnah dengan alasan bahwa dia tidak dalam posisi
untuk mengintervensi urusan dalam negeri Burma / Myanmar.
Setelah penolakan
oleh Muhammad Ali Jinnah ini, para tetua Rohingya membentuk Partai Mujahid
tahun 1947 dengan tujuan untuk mendirikan Negara Bagian Otonomi Arakan. Perjuangan
secara politik partai ini berakhir setelah berhasilnya kudeta militer yang
dilakukan oleh Jenderal Ne Win. Jenderal Ne Win melakukan serangan militer
terhadap Rohingya selama lebih dari 2 dekade termasuk di antaranya operasi
militer Operation King Dragon tahun 1978 yang menimbulkan gelombang
pengungsi menuju Bangladesh dan Karachi ibukota Pakistan. Partai Mujahid
berubah menjadi gerakan gerilya bersenjata di wilayah Arakan hingga sekarang.
- Era Setelah Kemerdekaan Myanmar dan Perang Kemerdekaan Bangladesh
Konflik Rohingya
di Era Setelah Kemerdekaan Myanmar 1948 dan Kemerdekaan Bangladesh 1978, serta
berkuasanya Junta Militer Jenderal Ne Win dimulai dengan desakan dari kalangan
biksu – biksu Hindu dan pendeta – pendeta Budha untuk menolak gelombang pengungsi
yang kembali dari Bangladesh sejak mereka mengungsi pada masa penjajahan Jepang
dengan alasan akan menimbulkan perpecahan. Pemerintahan Jenderal Ne Win meminta
kepada PBB agar pengungsi – pengungsi perang ini tidak dianggap sebagai warga
negara Myanmar dan meluncurkan banyak serangan militer ke wilayah Rohingya. Pemerintah
Bangladesh melakukan protes resmi kepada pemerintah Myanmar atas seringnya
pengungsi Rohingya masuk ke wilayah mereka, sementara pemerintah Myanmar menyatakan
bahwa para pengungsi ini adalah warga negara Bangladesh yang tinggal dan
menetap secara illegal di wilayah Myanmar. Bahkan pemerintahan Jenderal Ne Win
mengeluarkan undang undang kewarganegaraan yang menyatakan bahwa Rohingya dan
semua keturunan Bengal adalah warga negara asing.
Tanpa bisa dibuktikan
secara ilmiah, Rakhines (penduduk asli Rakhine) menyatakan bahwa banyak imigran
yang masuk ke wilayah Rohingya setelah tahun 1980, klaim yang tentu saja
ditolak oleh Rohingya, sementara sensus penduduk pertama yang dilakukan oleh
pemerintah Myanmar adalah tahun 1983. Setelah tahun 1983, pemerintah Myanmar
membangun perbatasan dengan Bangladesh dilengkapi dengan pos pos penjagaan
bersenjata.
- Era Gerakan Politik Rohingya (1990 – sekarang)
Sejak tahun 1990
an, pasukan gerilya Rohingya (Mujahid) mulai berjuang melalui jalur politik
salah satunya dengan mempopulerkan istilah “Rohingya” dan menolak istilah “Bengali”,
yang diberikan oleh politikus – politikus anti Rohingya. Kelompok ini
memperjuangkan pemerintahan otonomi khusus untuk wilayah Rakhine.Perbedaan penggunaan
istilah Rohingya dan Bengali saja menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat
Myanmar bahkan di kalangan akademisi, sampai akhirnya ahli ahli sejarah yang
menyebutkan kata “Rohingya” daripada “Bengali” dianggap atau di cap sebagai “simpatisan
Rakhine”. Tetapi akhirnya istilah Rohingya menjadi sangat populer setelah pecah
kerusuhan tahun 2012.
Penduduk asli Rakhine
yang disebut Rakhines dan Kaman yang juga tinggal di wilayah Rakhine mendukung
kewarganegaraan untuk orang – orang Rohingya, tetapi menolak ide otonomi daerah
Rakhine. Sementara politisi – politisi moderat Rohingya lebih kompromistis
dengan fokus utama hanya di perjuangan mengenai status kewarganegaraan, tidak
terlalu mendukung ide otonomi dan tidak mempermasalahkan mengenai istilah untuk
menyebut mereka apakah; “Rohingya”, “Bengali”, “Muslim Rakhine”, “Muslim
Myanmar”, bahkan “Myanmar” saja.
- Era Junta Militer
Junta Militer
memerintah Myanmar selama setengah abad dengan taktik memanfaatkan nasionalisme
dicampur isu – isu agama Budha yang merupakan agama mayoritas rakyat Myanmar
sebagai alat untuk mendiskriminasi semua minoritas termasuk Rohingya dan keturunan
China (Kokang dan Panthay).
Pemerintahan Junta
Militer bahkan melakukan pembiaran – pembiaran terhadap kerusuhan – kerusuhan yang
diprovokasi oleh pendeta – pendeta Budha terhadap minoritas Rohingya dan
keturunan China.
- Era Kerusuhan Negara Bagian Rakhine dan Krisis Pengungsi 2012
Kerusuhan ini
dipicu oleh beberapa rangkaian kasus pemicu yang terjadi antara Muslim Rohingya
yang merupakan mayoritas di wilayah Rakhine Utara dengan Rakhines (suku asli
Rakhine) yang merupakan mayoritas di wilayah Rakhine Selatan. Kasus – kasus tersebut
adalah;
1.
Terjadi
pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita Rakhines yang dilakukan oleh
beberapa pelaku orang Rohingya.
2.
Terjadi
pembunuhan terhadap 10 orang muslim Myanmar oleh orang – orang Rakhines.
Lembaga
internasional – International State Crime Initiative (ISCI) menemukan dan
mencatat bukti berdasarkan kesaksian beberapa orang pelaku kerusuhan 2012 bahwa
para pelaku di perintahkan oleh pemerintah untuk mempertahankan “ras dan agama”
mereka, dibekali pisau, diberi makanan gratis, dan diangkut menggunakan bus
dari wilayah Sittwe untuk menyerang orang – orang Rohingya di Rakhine. Kerusuhan
ini diperparah dengan tidak pernah dihukumnya pelaku penyerangan terhadap orang
– orang Rohingya, sehingga memicu aksi balas dendam yang lebih luas. Pada saat
terjadi aksi balas dendam oleh orang – orang Rohingya inilah, militer tampil di
depan publik seolah – olah sebagai pembela dan pelindung agama Budha terhadap
serangan Muslim Rohingya.
Kerusuhan 2012
ini menimbulkan 78 orang tewas, 87 luka – luka, dan lebih dari 140.000 orang
kehilangan tempat tinggal. Pemerintah Myanmar meresponnya dengan menerjunkan
pasukan militer di wilayah Rakhine dan menyatakan negara bagian itu sebagai
Negara Darurat Militer. Ditemukan bukti – bukti bahwa pihak militer dan
kepolisian menargetkan dan melakukan penahanan terhadap Muslim Rohingya dengan
tuduhan sebagai pelaku kekerasan.
Sampai dengan
tahun 2015, sekitar 140.000 orang – orang Rohingya ditahan di kamp – kamp penahanan.
Lembaga Simon-Skjodt of Holocaust Memorial Museum bahkan dalam sebuah jumpa
pers menyatakan bahwa orang – orang Rohingya berada dalam “ancaman kejahatan
terhadap kemanusiaan massal dan bahkan Genosida (pemusnahan ras)”.
Akhir tahun 2016
pihak militer Myanmar dan gerakan radikal Budha melakukan serangan besar –
besaran terhadap Rohingya dengan alasan sebagai respon atas serangan kepada pos
polisi penjagaan perbatasan yang dilakukan oleh kelompok tidak dikenal. Serangan
militer ini memicu kerusuhan massal, pembunuhan, pemerkosaan, dan berbagai
tindakan brutal.
FAKTA LAIN MENGENAI CADANGAN MINYAK
DAN GAS ALAM DI WILAYAH NEGARA BAGIAN RAKHINE
Myanmar,
sebagaimana dilaporkan Forbes, diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas
sebesar 11 triliun dan 23 triliun kaki kubik, hal tersebut membuat perusahaan
multinasional asing berebut mendapatkan kesepakatan mengeksplorasinya.
Selain itu Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang menguntungkan, terutama bagi Cina, karena merupakan akses pada laut India dan Laut Andaman.
Sejak Myanmar membuka diri pada 2011, ekspansi Cina tak lagi tertahankan. Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang penting dan strategis bagi kepentingan Cina, seiring dengan pembangunan Shwe Pipeline (Jalur Pipa Shwe) di Negara Bagian Rakhine yang telah menghubungkan distribusi migas dari Afrika dan Timur Tengah ke Negara Tirai Bambu itu.
Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan Cina sepanjang 803 kilometer.
Selain itu Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang menguntungkan, terutama bagi Cina, karena merupakan akses pada laut India dan Laut Andaman.
Sejak Myanmar membuka diri pada 2011, ekspansi Cina tak lagi tertahankan. Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang penting dan strategis bagi kepentingan Cina, seiring dengan pembangunan Shwe Pipeline (Jalur Pipa Shwe) di Negara Bagian Rakhine yang telah menghubungkan distribusi migas dari Afrika dan Timur Tengah ke Negara Tirai Bambu itu.
Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan Cina sepanjang 803 kilometer.
Cina sangat
berkepentingan dengan jalur pipa ini untuk membawa migas ke negaranya dengan
total investasi mencapai US $29 miliar selama 3 dekade. Hal tersebut membuat
rezim Junta Militer di Myanmar yang perusahaannya menjadi mitra dalam proyek
ini, harus memastikan wilayah jalur pipa aman.
Namun, proyek gas dan Jalur Pipa Shwe yang mengeksplorasi gas alam bawah laut di lepas pantai barat Myanmar dan dual pipa gas yang dibangun melewati negara bagian Rakhine, Shan dan Burma Tengah telah menghancurkan kehidupan nelayan, merampas ribuan hektar tanah dan membuat puluhan ribu warga lokal Budha menganggur.
Meski belum terbukti, Guardian menyiratkan ada dugaan bahwa persekusi terhadap Rohingya yang digalang sejumlah biksu ultranasional seperti Wirathu sejak 2011 dinilai sebagai operasi terselubung junta militer yang saat itu berkuasa.
Namun, proyek gas dan Jalur Pipa Shwe yang mengeksplorasi gas alam bawah laut di lepas pantai barat Myanmar dan dual pipa gas yang dibangun melewati negara bagian Rakhine, Shan dan Burma Tengah telah menghancurkan kehidupan nelayan, merampas ribuan hektar tanah dan membuat puluhan ribu warga lokal Budha menganggur.
Meski belum terbukti, Guardian menyiratkan ada dugaan bahwa persekusi terhadap Rohingya yang digalang sejumlah biksu ultranasional seperti Wirathu sejak 2011 dinilai sebagai operasi terselubung junta militer yang saat itu berkuasa.
Junta menggunakan
para biksu yang sangat dihormati warga lokal untuk mengalihkan kemarahan warga
lokal Rakhine terhadap pemerintah Myanmar akibat proyek minyak dan gas dan
menjadikan warga minoritas Rohingya sebagai musuh bersama karena perbedaan
agama dan budaya.
Kalangan dunia internasional dan PBB
mencurigai bahwa kasus Rohingya adalah pemanfaatan isu agama, ras, dan sejarah
masa lalu Rohingya untuk melindungi kepentingan bisnis pemerintah Myanmar
dengan negara – negara lain, dengan mengorbankan Rohingya.
Sumber:
ijin share yah kak
ReplyDeleterumah adat indonesia