Tuesday, September 5, 2017

DERITA ROHINGYA - TENTANG SEJARAH MASA LALU, ISU AGAMA, ISU RAS, DAN KEPENTINGAN NEGARA LAIN



DERITA ROHINGYA
TENTANG SEJARAH MASA LALU, ISU AGAMA, ISU RAS,
DAN KEPENTINGAN NEGARA LAIN

Banyak berita tentang pengungsi Rohingya dari Myanmar yang pada jaman dahulu bernama Birma atau Burma. Ribuan (bahkan beberapa sumber menyebutkan angka ratusan ribu dan setiap hari akan terus bertambah) pengungsi Rohingya terpaksa mengungsi dari kampung halamannya untuk bertahan hidup dari ancaman serangan militer pemerintah Myanmar. Jumlah pasti pengungsi sulit diketahui karena;

  • Tersebar di Bangladesh, Pakistan, Malaysia, Indonesia, dan Thailand.

  • Badan PBB untuk urusan pengungsi UNHCR (United Nation High Commissioner for Refugees) hanya mengeluarkan data jumlah pengungsi yang sudah diakui dan sedang dalam proses pengiriman ke negara ketiga à perpindahan dari negara penampung sementara.

Siapakah sebetulnya orang – orang Rohingya itu?

Orang – orang Rohingya adalah penduduk stateless / tanpa kewarganegaraan dari ras Indo-Aryan people dan berasal dari daerah negara bagian Rakhine (dibaca: “rahain”) Myanmar. Diperkirakan sekitar 1 juta orang Rohingya hidup di Myanmar. Mayoritas beragama Islam dan sebagian kecil diantaranya beragama Hindu. Digambarkan oleh dunia barat sebagai "one of the most persecuted minorities in the world" – “salah satu minoritas paling tersiksa di dunia”. Hampir semua populasi Rohingya dicabut kewarganegaraannya oleh pemerintah Myanmar berdasarkan Undang – Undang Kewarganegaraan tahun 1982, undang – undang ini melarang pemberian Kewarganegaraan Penuh / Full Citizenship kepada semua imigran yang masuk ke Myanmar setelah tahun 1823. Orang Rohingya juga dilarang keluar dari wilayah Rakhine, dilarang menempuh pendidikan di sekolah – sekolah negeri, dan dilarang bekerja di lapangan kerja formal. Meskipun telah dijanjikan akan persamaan hak sebagai warga negara oleh pemimpin terbaru Myanmar Aung San, orang – orang Rohingya tetap mengalami beberapa kali penyerangan oleh pihak militer Myanmar, yaitu tahun 1978, 1991 – 1992, 2012, 2015, dan 2016 – 2017.

Menurut pendapat beberapa ahli sejarah dan orang – orang Rohingya sendiri, orang – orang Rohingya adalah penduduk asli negara bagian Rakhine, sementara ahli – ahli sejarah yang lain menyatakan bahwa orang – orang Rohingya adalah kelompok campuran antara imigran – imigran jaman Pra Kolonial dan jaman Kolonial. Sementara pemerintah Myanmar menyatakan bahwa orang – orang Rohingya adalah imigran illegal yang bermigrasi ke wilayah Arakan setelah kemerdekaan Burma (Myanmar) tahun 1948 atau setelah perang kemerdekaan Bangladesh tahun 1971.



Agama Islam masuk ke negara bagian Rakhine (juga dikenal sebagai Arakan) sejak abad ke 15 Masehi, meskipun jumlah penduduk muslim sebelum masa pendudukan Inggris tidak terdata dengan jelas. Terdapat banyak perbedaan pendapat tentang asal muasal orang – orang Rohingya, kata “Rohingya” sendiri berasal dari kata “Rooinga” yang pertama kali mencuat tahun 1799 dalam sebuah artikel tentang sebuah bahasa yang digunakan oleh umat muslim di daerah Arakan dan di klaim sebagai penduduk asli Arakan. Pada tahun 1826, setelah perang First Anglo-Burmese War, bangsa Inggris menguasai wilayah Arakan dan mendorong migrasi penduduk dari wilayah Bengal (Bangladesh) untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan. Populasi muslim diperkirakan sebesar 5 % dari total populasi di wilayah Arakan pada tahun 1869 dan jumlah tersebut menurun dibandingkan tahun – tahun sebelumnya. Sensus penduduk yang dilakukan oleh Kolonial Inggris pada tahun 1872 dan 1911 mencatat peningkatan jumlah populasi muslim dari 58.255 orang menjadi 178.647 orang di distrik Akyab wilayah Arakan.

Setelah kemerdekaan Myanmar tahun 1948, laskar pejuang Mujahidin yang dahulu melawan penjajah Inggris, berubah menjadi pemberontak terhadap pemerintah Myanmar dengan tujuan untuk bergabung dengan Pakistan Timur dan berlanjut hingga tahun 1960 an bersamaan dengan Gerakan Kemerdekaan Arkan yang dilakukan oleh orang – orang Rakhine yang beragama Budha. Pemberontakan – pemberontakan ini meninggalkan bekas berupa ketidak percayaan dan saling curiga antara komunitas Muslim dan Budha. Pada tahun 1982 pemerintahan Jenderal Ne Win ( General Ne Win) memberlakukan Undang – Undang Kewarganegaraan Burma ( Burmese nationality law) yang mencabut kewarganegaraan penduduk Rohingya, sehingga mengakibatkan mayoritas penduduk Rohingya menjadi rakyat Tanpa Kewarganegaraan.

Setelah krisis pengungsi Rohingya tahun 2015 dan penyerangan oleh militer tahun 2016 – 2017, jumlah penduduk Rohingya yang hidup di Myanmar diperkirakan sekitar 1,1 juta hingga 1,3 juta orang. Sebagian besar mereka tinggal di sekitar kota Rakhine 80 % s/d 98 %. Banyak orang – orang Rohingya yang mengungsi ke negara – negara tetangga seperti Bangladesh, daerah perbatasan Thailand, dan ke kota Karachi ibukota Pakistan. Lebih dari 100.000 orang penduduk Rohingya hidup ditahan di camp – camp penampungan militer Myanmar. PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) telah menemukan bukti adanya peningkatan gerakan kebencian dan intoleransi agama yang dilakukan oleh gerakan radikal Budha terhadap orang – orang Rohingya, sementara pihak keamanan Myanmar melakukan pembunuhan terencana, penculikan, penahanan tanpa bukti, penyiksaan, dan kerja paksa terhadap orang – orang Rohingya. Karena hal – hal inilah, maka kalangan Media Massa Internasional dan Organisasi – Organisasi Kemanusiaan menggambarkan orang – orang Rohingya sebagai “one of the most persecuted minorities in the world” - salah satu minoritas paling tersiksa di dunia.
Berdasarkan pernyataan resmi PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa), kekerasan terhadap kemanusiaan yang terjadi di Rohingya termasuk kategori “Kejahatan Terhadap Kemanusiaan”  "Crimes against Humanity". 



Orang – orang Rohingya mendapatkan perhatian dunia setelah terjadi kerusuhan massal Rakhine tahun 2012, krisis pengungsi Rohingya 2015, dan penyerangan oleh militer tahun 2016 – 2017.

LEBIH DALAM MENGENAI SEJARAH MASA LALU ROHINGYA

Tragedi kemanusiaan Rohingya tidaklah sederhana, tetapi berasal dari sejarah panjang dan penuh hiruk pikuk.

Berikut kisah lebih lanjut mengenai asal usul tragedi kemanusiaan ini;

  • Era Kerajaan Mrauk U

Berdasarkan bukti – bukti sejarah Muslim Bengali, pada masa ini wilayah Arakan dipimpin oleh Min Saw Mon (1430 – 1434) dari kerajaan Kingdom of Mrauk U.
Setelah 24 tahun diasingkan dari Bengal, Min Saw Mon menguasai tahta Arakanese pada tahun 1430 dengan bantuan militer dari Kesultanan Bengal Bengal Sultanate. Orang – orang Bengal yang datang bersamanya membentuk kerajaan sendiri di Arakan.
Uang koin dari Arakan yang digunakan di wilayah pendudukan Kesultanan Bengal
Min Saw Mon menyerahkan beberapa wilayahnya kepada Sultan Bengal dan menyatakan berdaulat kepada Sultan Bengal. Sebagai penghargaan terhadap tunduknya Min Saw Mon kepada Sultan Bengal, Raja Arakan ini mendapatkan gelar islam dan diperbolehkan menggunakan mata uang Bengal yaitu gold dinar . Min Saw Mon mencetak mata uang koin nya sendiri dengan tulisan huruf Burma di satu sisi dan huruf Persia di sisi lainnya.
Tunduknya Arakan kepada Sultan Bengal berlangsung singkat. Setelah kematian Sultan Jalaluddin Muhammad Shah pada tahun 1433, Arakan menyerang Bengal dan berhasil menguasai wilayah Ramu pada tahun 1437 dan wilayah Chittagong  1459. Arakan berhasil mempertahankan Chittagong sampai dengan tahun 1666.
Setelah mendapatkan kemerdekaan dari Sultan Bengal, muslim mencapai masa kejayaannya di kerajaan Arakan. Raja – raja Budha yang berhasil ditundukkan juga diharuskan mengikuti aturan – aturan islami yang diterapkan. Raja – raja Budha dari daerah – daerah koloni Arkan juga diharuskan mempekerjakan orang – orang muslim di posisi – posisi penting administrasi kerajaan mereka. Populasi rakyat muslim Bengal di Arkan meningkat tajam pada abad ke 17 M dan bekerja di berbagai bidang. Banyak diantaranya bekerja sebagai penulis bahasa Bengali, Persia, dan Arab di pengadilan – pengadilan Arkan, yang meskipun bersistem Budha tetapi banyak mengadaptasi hukum – hukum Islam dari Kesultanan Bengal. Suku Kamein, yang dianggap sebagai salah satu suku asli Myanmar adalah keturunan dari muslim Bengal ini. Pada abad ke 17 M ini puluhan ribu muslim Bengal ditangkap oleh pasukan Arkan untuk dijadikan pelayan raja, dijual sebagai budak, dan dipaksa untuk hidup di wilayah Arakan. 
 
  • Era Penaklukan Burma

Setelah Dinasti Konbaung (suku Bamar – suku mayoritas di Myanmar) menaklukkan Arakan pada tahun 1785, sebanyak 35.000 penduduk Rakhine mengungsi ke Chittagong yang merupakan daerah Bengal jajahan Inggris dengan tujuan mencari perlindungan kepada Raja Chittagong bentukan Inggris dari siksaan orang – orang Bamar. Orang – orang Bamar membunuh ribuan pria Rakhine dan memindahkan sebagian populasi di Rakhine ke Burma (Myanmar) tengah, meninggalkan Arakan sebagai daerah yang nyaris tak berpenduduk sampai saat dikuasai oleh Inggris. 


  • Era Penjajahan Inggris

Pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan kebijakan migrasi besar – besaran penduduk Bengal di wilayah yang sekarang menjadi negara Bangladesh menuju ke Arakan (nama lain Rakhine) untuk bekerja di area perkebunan. Pada masa itu, tidak terdapat batas negara antara wilayah Bengal dan Arakan. Penduduk asli dan suku – suku tradisional Myanmar dipaksa untuk menerima ratusan ribu bangsa keturunan ras India dari Bengal ini.
Penduduk asli Rakhine (kebetulan beragama Hindu dan Budha) menjadi minoritas di tanah mereka sendiri. Pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1939 membentuk komisi penyelidikan yang di pimpin oleh James Ester dan Tin Tut untuk mempelajari efek imigrasi ini dan komisi ini merekomendasikan untuk menutup perbatasan Bengal – Arakan. Tetapi perkembangan situasi perang dunia ke II memaksa Inggris mundur dari wilayah Arakan sebelum melaksanakan penutupan perbatasan ini.

  • Era Penaklukan Jepang

Pada masa Perang Dunia ke II Pasukan Kekeisaran Jepang menginvasi semua wilayah Myanmar jajahan Inggris British-controlled Burma termasuk wilayah Arakan. Pasukan Inggris mundur ke Bangladesh dan meninggalkan kevakuman pemerintahan.
Pasukan Inggris meninggalkan pasukan orang – orang Rohingya bentukan tentara Inggris bernama V Force dengan tujuan untuk menahan laju pasukan Jepang dan mengatasi perlawanan pasukan etnis Rakhine pro Jepang. Strategi Inggris ini menimbulkan pertempuran dan tindak kekerasan antara kelompok pro Inggris dengan pejuang – pejuang Myanmar (cenderung pro Jepang). 


Aye Chan seorang sejarawan dari Kanada University menuliskan bahwa pasukan V Force ini akhirnya lebih berkonsentrasi untuk berusaha menghancurkan desa – desa tradisional “orang – orang asli Arakan” (Rakhines) termasuk menghancurkan banyak tempat ibadah umat Budha daripada menahan laju serangan Jepang. Pada Maret 1942, orang – orang Rohingya dari utara membunuh sekitar 20.000 orang – orang Rakhines. Dan sebaliknya sekitar 5.000 penduduk muslim di wilayah Minbya dan Mrauk-U Townships terbunuh oleh Rakhines dan pasukan Red Karens. Salah satu tragedi yang terjadi adalah tragedi pembunuhan massal Arakan massacres in 1942
Seperti umumnya di wilayah yang di invasinya, tentara Jepang juga banyak melakukan pemerkosaan, pembunuhan, dan penyiksaan terhadap penduduk muslim di Arakan. Pada masa ini diperkirakan sekitar 22.000 muslim Arakan mengungsi ke wilayah Bengal untuk menghindari penyiksaan Jepang.

  • Era Pergerakan Kemerdekaan Pakistan dan Paska Perang Dunia II
Tahun 1948 Burma / Myanmar memperoleh kemerdekaan sebagai bagian dari Negara Persemakmuran Inggris / Great Britain, dan pemerintahan Myanmar menolak mengakui Rohingya sebagai rakyat Myanmar. Orang – orang Myanmar merasa sebagai korban Inggris, sementara orang – orang Rakhine (Rakhines) merasa sebagai korban Inggris dan Myanmar. Kedua kelompok ini lebih menonjolkan diri sebagai sesama korban perang sehingga menghilangkan simpati kepada kepada Rohingya / orang – orang Rohingya.

Pada masa – masa Pergerakan Kemerdekaan Pakistan tahun 1940 an, Muslim Rohingya di Myanmar barat membentuk gerakan separatis untuk bergabung dengan Pakistan Timur East Pakistan . Sebelum kemerdekaan Myanmar 1948, pemimpin muslim dari Arakan meminta bantuan Muhammad Ali Jinnah, pendiri Pakistan untuk mengakui wilayah Rakhine terutama daerah Mayu sebagai bagian dari Pakistan berdasarkan persamaan agama dan kemiripan geografi. Dua bulan kemudian terbentuk Liga Muslim Arakan di Akyab yang menghasilkan Deklarasi untuk bergabung dengan Pakistan. Deklarasi ini ditolak oleh Muhammad Ali Jinnah dengan alasan bahwa dia tidak dalam posisi untuk mengintervensi urusan dalam negeri Burma / Myanmar.

Setelah penolakan oleh Muhammad Ali Jinnah ini, para tetua Rohingya membentuk Partai Mujahid tahun 1947 dengan tujuan untuk mendirikan Negara Bagian Otonomi Arakan. Perjuangan secara politik partai ini berakhir setelah berhasilnya kudeta militer yang dilakukan oleh Jenderal Ne Win. Jenderal Ne Win melakukan serangan militer terhadap Rohingya selama lebih dari 2 dekade termasuk di antaranya operasi militer Operation King Dragon tahun 1978 yang menimbulkan gelombang pengungsi menuju Bangladesh dan Karachi ibukota Pakistan. Partai Mujahid berubah menjadi gerakan gerilya bersenjata di wilayah Arakan hingga sekarang.

  • Era Setelah Kemerdekaan Myanmar dan Perang Kemerdekaan Bangladesh
Konflik Rohingya di Era Setelah Kemerdekaan Myanmar 1948 dan Kemerdekaan Bangladesh 1978, serta berkuasanya Junta Militer Jenderal Ne Win dimulai dengan desakan dari kalangan biksu – biksu Hindu dan pendeta – pendeta Budha untuk menolak gelombang pengungsi yang kembali dari Bangladesh sejak mereka mengungsi pada masa penjajahan Jepang dengan alasan akan menimbulkan perpecahan. Pemerintahan Jenderal Ne Win meminta kepada PBB agar pengungsi – pengungsi perang ini tidak dianggap sebagai warga negara Myanmar dan meluncurkan banyak serangan militer ke wilayah Rohingya. Pemerintah Bangladesh melakukan protes resmi kepada pemerintah Myanmar atas seringnya pengungsi Rohingya masuk ke wilayah mereka, sementara pemerintah Myanmar menyatakan bahwa para pengungsi ini adalah warga negara Bangladesh yang tinggal dan menetap secara illegal di wilayah Myanmar. Bahkan pemerintahan Jenderal Ne Win mengeluarkan undang undang kewarganegaraan yang menyatakan bahwa Rohingya dan semua keturunan Bengal adalah warga negara asing.

Tanpa bisa dibuktikan secara ilmiah, Rakhines (penduduk asli Rakhine) menyatakan bahwa banyak imigran yang masuk ke wilayah Rohingya setelah tahun 1980, klaim yang tentu saja ditolak oleh Rohingya, sementara sensus penduduk pertama yang dilakukan oleh pemerintah Myanmar adalah tahun 1983. Setelah tahun 1983, pemerintah Myanmar membangun perbatasan dengan Bangladesh dilengkapi dengan pos pos penjagaan bersenjata.
  • Era Gerakan Politik Rohingya (1990 – sekarang)
Sejak tahun 1990 an, pasukan gerilya Rohingya (Mujahid) mulai berjuang melalui jalur politik salah satunya dengan mempopulerkan istilah “Rohingya” dan menolak istilah “Bengali”, yang diberikan oleh politikus – politikus anti Rohingya. Kelompok ini memperjuangkan pemerintahan otonomi khusus untuk wilayah Rakhine.Perbedaan penggunaan istilah Rohingya dan Bengali saja menimbulkan perpecahan di kalangan rakyat Myanmar bahkan di kalangan akademisi, sampai akhirnya ahli ahli sejarah yang menyebutkan kata “Rohingya” daripada “Bengali” dianggap atau di cap sebagai “simpatisan Rakhine”. Tetapi akhirnya istilah Rohingya menjadi sangat populer setelah pecah kerusuhan tahun 2012.

Penduduk asli Rakhine yang disebut Rakhines dan Kaman yang juga tinggal di wilayah Rakhine mendukung kewarganegaraan untuk orang – orang Rohingya, tetapi menolak ide otonomi daerah Rakhine. Sementara politisi – politisi moderat Rohingya lebih kompromistis dengan fokus utama hanya di perjuangan mengenai status kewarganegaraan, tidak terlalu mendukung ide otonomi dan tidak mempermasalahkan mengenai istilah untuk menyebut mereka apakah; “Rohingya”, “Bengali”, “Muslim Rakhine”, “Muslim Myanmar”, bahkan “Myanmar” saja.
  • Era Junta Militer
Junta Militer memerintah Myanmar selama setengah abad dengan taktik memanfaatkan nasionalisme dicampur isu – isu agama Budha yang merupakan agama mayoritas rakyat Myanmar sebagai alat untuk mendiskriminasi semua minoritas termasuk Rohingya dan keturunan China (Kokang dan Panthay).

Pemerintahan Junta Militer bahkan melakukan pembiaran – pembiaran terhadap kerusuhan – kerusuhan yang diprovokasi oleh pendeta – pendeta Budha terhadap minoritas Rohingya dan keturunan China.
  • Era Kerusuhan Negara Bagian Rakhine dan Krisis Pengungsi 2012
Kerusuhan ini dipicu oleh beberapa rangkaian kasus pemicu yang terjadi antara Muslim Rohingya yang merupakan mayoritas di wilayah Rakhine Utara dengan Rakhines (suku asli Rakhine) yang merupakan mayoritas di wilayah Rakhine Selatan. Kasus – kasus tersebut adalah;
1.      Terjadi pemerkosaan dan pembunuhan terhadap seorang wanita Rakhines yang dilakukan oleh beberapa pelaku orang Rohingya.
2.      Terjadi pembunuhan terhadap 10 orang muslim Myanmar oleh orang – orang Rakhines.
Lembaga internasional – International State Crime Initiative (ISCI) menemukan dan mencatat bukti berdasarkan kesaksian beberapa orang pelaku kerusuhan 2012 bahwa para pelaku di perintahkan oleh pemerintah untuk mempertahankan “ras dan agama” mereka, dibekali pisau, diberi makanan gratis, dan diangkut menggunakan bus dari wilayah Sittwe untuk menyerang orang – orang Rohingya di Rakhine. Kerusuhan ini diperparah dengan tidak pernah dihukumnya pelaku penyerangan terhadap orang – orang Rohingya, sehingga memicu aksi balas dendam yang lebih luas. Pada saat terjadi aksi balas dendam oleh orang – orang Rohingya inilah, militer tampil di depan publik seolah – olah sebagai pembela dan pelindung agama Budha terhadap serangan Muslim Rohingya.
Kerusuhan 2012 ini menimbulkan 78 orang tewas, 87 luka – luka, dan lebih dari 140.000 orang kehilangan tempat tinggal. Pemerintah Myanmar meresponnya dengan menerjunkan pasukan militer di wilayah Rakhine dan menyatakan negara bagian itu sebagai Negara Darurat Militer. Ditemukan bukti – bukti bahwa pihak militer dan kepolisian menargetkan dan melakukan penahanan terhadap Muslim Rohingya dengan tuduhan sebagai pelaku kekerasan.

Sampai dengan tahun 2015, sekitar 140.000 orang – orang Rohingya ditahan di kamp – kamp penahanan. Lembaga Simon-Skjodt of Holocaust Memorial Museum bahkan dalam sebuah jumpa pers menyatakan bahwa orang – orang Rohingya berada dalam “ancaman kejahatan terhadap kemanusiaan massal dan bahkan Genosida (pemusnahan ras)”.

Akhir tahun 2016 pihak militer Myanmar dan gerakan radikal Budha melakukan serangan besar – besaran terhadap Rohingya dengan alasan sebagai respon atas serangan kepada pos polisi penjagaan perbatasan yang dilakukan oleh kelompok tidak dikenal. Serangan militer ini memicu kerusuhan massal, pembunuhan, pemerkosaan, dan berbagai tindakan brutal.


FAKTA LAIN MENGENAI CADANGAN MINYAK DAN GAS ALAM DI WILAYAH NEGARA BAGIAN RAKHINE

Myanmar, sebagaimana dilaporkan Forbes, diperkirakan memiliki cadangan minyak dan gas  sebesar 11 triliun dan 23 triliun kaki kubik, hal tersebut membuat perusahaan multinasional asing berebut mendapatkan kesepakatan mengeksplorasinya.

Selain itu Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang menguntungkan, terutama bagi Cina, karena merupakan akses pada laut India dan Laut Andaman.

Sejak Myanmar membuka diri pada 2011, ekspansi Cina tak lagi tertahankan. Myanmar juga berada dalam posisi geo-politik yang penting dan strategis bagi kepentingan Cina, seiring dengan pembangunan Shwe Pipeline (Jalur Pipa Shwe) di Negara Bagian Rakhine yang telah menghubungkan distribusi migas dari Afrika dan Timur Tengah ke Negara Tirai Bambu itu.

Pipa gas (mulai beroperasi 1 Juli 2013, dengan kapasitas 193,6 juta kubik kaki per hari) dan pipa minyak (mulai beroperasi 1 Desember 2013 dengan kapasitas 400 ribu barrels per hari) dari Kyauk Phyu ke perbatasan Cina sepanjang 803 kilometer.

Cina sangat berkepentingan dengan jalur pipa ini untuk membawa migas ke negaranya dengan total investasi mencapai US $29 miliar selama 3 dekade. Hal tersebut membuat rezim Junta Militer di Myanmar yang perusahaannya menjadi mitra dalam proyek ini, harus memastikan wilayah jalur pipa aman.

Namun, proyek gas dan Jalur Pipa Shwe yang mengeksplorasi gas alam bawah laut di lepas pantai barat Myanmar dan dual pipa gas yang dibangun melewati negara bagian Rakhine, Shan dan Burma Tengah telah menghancurkan kehidupan nelayan, merampas ribuan hektar tanah dan membuat puluhan ribu warga lokal Budha menganggur.

Meski belum terbukti, Guardian menyiratkan ada dugaan bahwa persekusi terhadap Rohingya yang digalang sejumlah biksu ultranasional seperti Wirathu sejak 2011 dinilai sebagai operasi terselubung junta militer yang saat itu berkuasa.

Junta menggunakan para biksu yang sangat dihormati warga lokal untuk mengalihkan kemarahan warga lokal Rakhine terhadap pemerintah Myanmar akibat proyek minyak dan gas dan menjadikan warga minoritas Rohingya sebagai musuh bersama karena perbedaan agama dan budaya.

Kalangan dunia internasional dan PBB mencurigai bahwa kasus Rohingya adalah pemanfaatan isu agama, ras, dan sejarah masa lalu Rohingya untuk melindungi kepentingan bisnis pemerintah Myanmar dengan negara – negara lain, dengan mengorbankan Rohingya.

Sumber:





1 comment: