Tuesday, September 19, 2017

AGAMA "ASLI" INDONESIA



Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), AGAMA adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti tradisi.

Pengertian “agama terbagi menjadi 2 kategori yaitu; Agama Samawi (disebut juga agama Abrahamik atau agama Ibrahimiyyah) dan Agama Ardhi.

Agama Samawi adalah agama monoteistik >> hanya mengakui satu Tuhan.
Agama Samawi diantaranya yang terbesar dan secara keseluruhan dianut oleh lebih dari setengah penduduk Bumi adalah; Islam, Nasrani (Kristen dan Katolik), dan Yahudi.
Setiap agama Samawi diatas mempunyai pengertian sendiri – sendiri tentang asal usul agama mereka berdasarkan kitab suci masing – masing, tetapi secara sederhana Agama Samawi adalah agama yang dipercaya oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu atau risalah dari Tuhan (sering juga agama Samawi disebut sebagai agama langit).
Sebuah agama bisa disebut sebagai agama Samawi, apabila;
·         Mempunyai definisi Tuhan yang jelas dan satu.
·         Mempunyai penyampai wahyu atau risalah (nabi / rasul).
·         Mempunyai kumpulan wahyu atau risalah yang diwujudkan dalam Kitab Suci.

Agama Ardhi adalah agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diciptakan oleh sesama manusia.
Sebagai contoh misalnya agama Budha yang diciptakan oleh Sidharta Gautama saat merenung dibawah pohon “Bodi” dan mendapatkan temuan – temuan nilai – nilai kehidupan yang kemudian dijadikan sebagai dasar agama ini.
Meskipun tidak semua, tetapi pada umumnya jenis agama Ardhi mengakui Tuhan lebih dari satu.

Secara resmi pemerintah Indonesia hanya mengakui 6 agama, yaitu; Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu.
Berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 1 tahun 1965 dan Undang-Undang (UU) Nomor 5 tahun 1969, agama-agama yang dianut penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Namun, Konghucu dipinggirkan di masa Orde Baru. Berdasar Surat Keputusan (SK) Menteri Dalam Negeri tahun 1974, kolom agama di KTP harus diisi dengan pilihan agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu ,dan Budha.
Setelah Konghucu diakui lagi sebagai agama, berdasar Keputusan Presiden nomor 6 tahun 2000, di masa masa kepresidenan Abdurahman Wahid alias Gus Dur, Klenteng pun diramaikan lagi oleh penganut Konghucu. Namun, Klenteng setelah orde baru tak hanya menampung Konghucu saja, tapi juga penganut kepercayaan Laotze dan sebagian pemeluk agama Budha. Klenteng bisa digunakan untuk ibadah tiga agama.

Dari 6 agama yang secara resmi diakui oleh pemerintah Indonesia ini, tidak satupun yang merupakan agama asli Indonesia.
Menurut Kuntjaraningrat, dalam bukunya Kebudayaan, Mentaliteit dan Pembangunan (1974), istilah agama digunakan untuk menyebut enam agama yang diakui resmi oleh negara, seperti Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu. Sedangkan semua sistem keyakinan yang tidak atau belum diakui secara resmi disebut religi (agama).

Menurut Parsudi Suparlan dalam buku Agama Dalam Analisis dan Interpretasi Sosiologis (1988), agama sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhan, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya. Secara khusus, agama didefinisikan sebagai suatu sistem keyakinan yang dianut dan tindakan-tindakan yang diwujudkan oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam menginterpretasi dan memberi tanggapan terhadap apa yang dirasakan dan diyakini sebagai yang gaib dan suci.

Mengikuti Parsudi Suparlan, jika agama itu seperangkat peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, maka tak hanya keenam agama yang diakui pemerintah yang layak disebut agama. Aliran kepercayaan pun layak disebut agama. Ditambah lagi fakta bahwa “penyebutan” agama dan aliran kepercayaan adalah produk politik yang mengesampingkan realita kehidupan sehari – hari di masyarakat.
Menurut Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2003, pernah ada 245 agama lokal di Indonesia yang menurut Undang – Undang disebut “aliran kepercayaan”.

Pembatasan secara politik yang dilakukan oleh negara, menyebabkan punahnya banyak agama – agama lokal asli Indonesia. Bahkan di masa digital seperti sekarang, sumber literasi banyak Agama Asli Indonesia tidak tersedia dan sulit sekali untuk ditelusuri ataupun dipelajari sebagai sebuah warisan budaya bangsa.
Salah satu contohnya adalah; di desa Jipang (petilasan Aryo Penangsang), Cepu, Kabupaten Blora, yang berada di tepian sungai Bengawan Solo, berdiri sebuah gereja. Rupanya, penduduk desa itu dulunya adalah pemeluk agama lokal Kejawen. Pada awal pemerintahan Orde Baru tahun 1965 dikarenakan ketentuan untuk wajib mencantumkan agama di Kartu Tanda Penduduk dan hanya boleh di isi dengan pilihan 5 agama, dan karena secara kultural mereka pernah bermusuhan dengan orang pesantren beragama Islam yang berada di seberang sungai serta ketakutan akan di cap PKI, maka masyarakat Jipang yang sebetulnya buta politik akhirnya memilih agama Kristen dan meminggirkan agama asli mereka yaitu Kejawen. 
Contoh lain adalah yang terjadi di Jawa Barat. Orang – orang Sunda penganut agama Sunda Wiwitan juga secara politik terancam oleh pemerintahan Orde Baru, sehingga meski mereka tidak mempunyai permusuhan kultural sengan orang – orang Islam, mereka akhirnya memilih Kristen untuk dicantumkan dalam kolom agama di KTP mereka. Agama asli mereka ditinggalkan sementara meski tak hilang. Belakangan, mereka keluar lagi dan menegakkan kembali agama lokalnya.



Di daerah lain, tentu banyak agama lokal yang tak menjadi pilihan dari SK Menteri Dalam Negeri tahun 1974. Terpaksalah mereka memilih salah satu dari lima agama pilihan pemerintah itu. Islam paling banyak dipilih karena cukup mengucapkan dua kalimat syahadat. Salat, puasa di bulan Ramadhan, membayar zakat, dan naik haji, adalah soal nanti bagi mereka. Barangkali ini akar mula dari fenomena yang disebut Islam KTP. Yakni orang-orang yang mencantumkan kata Islam di KTP saja agar tak dituduh PKI, tetapi tak menjalankan syariat Islam. Sastrawan Besar Indonesia Pramoedya Ananta Toer, menyebutnya sebagai Islam Statistik. Secara statistik penganut Islam lebih banyak daripada agama lain.


Berikut ini adalah beberapa diantara Agama Asli Indonesia yang belum punah dan masih dianut oleh para pengikutnya, meskipun dalam prakteknya agama – agama ini dipaksakan untuk dimasukkan ke dalam salah satu agama yang diakui oleh pemerintah agar dapat terlindungi oleh Undang - Undang:
  1. Agama Bali (lebih sering disebut sebagai Hindu Bali atau Hindu Dharma)
  2. Aluk Todolo (Tana Toraja)
  3. Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten)
  4. Agama Djawa Sunda (Kuningan, Jawa Barat)
  5. Buhun (Jawa Barat)
  6. Kejawen (Jawa Tengah dan Jawa Timur)
  7. Parmalim (Sumatera Utara)
  8. Kaharingan (Kalimantan)
  9. Tonaas Walian (Minahasa, Sulawesi Utara)
  10. Tolottang (Sulawesi Selatan)
  11. Wetu Telu (Lombok)
  12. Naurus (pulau Seram, Maluku)
  13. Aliran Mulajadi Nabolon
  14. Marapu (Sumba)
  15. Purwoduksino
  16. Budi Luhur
  17. Pahkampetan
  18. Bolim
  19. Basora
  20. Sirnagalih
  21. Koda kirin (pulau adonara, Flores Timur – Nusa Tenggara Timur)
1. Agama Hindu Bali.
Disebut pula Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha (agama Air Suci adalah suatu praktik agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh mayoritas suku Bali di Indonesia. Agama Hindu Bali merupakan sinkretisme (penggabungan) kepercayaan Hindu aliran Saiwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan asli (local genius) suku Bali.

Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Caturwarna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Caturwarna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Caturwarna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.

Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Caturwarna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Caturwarna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Umat Hindu Bali memiliki sistem kalender sendiri yang berbeda dengan sistem penanggalan hari raya Hindu di India dan Nepal. Hari raya keagamaan bagi umat Hindu Bali umumnya dihitung berdasarkan wewaran dan pawukon, kombinasi antara Pancawara, Saptawara, dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka dari India.

2. Aluk Todolo.
Adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat toraja. Pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan Animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik.

3. Sunda Wiwitan.
Adalah agama atau kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda. Akan tetapi ada sementara pihak yang berpendapat bahwa Agama Sunda Wiwitan juga memiliki unsur monoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam pantheonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di provinsi Banten dan Jawa Barat, seperti di Kanekes, Lebak, Banten, Ciptagelar Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi, Kampung Naga, Cirebon, dan Cigugur - Kuningan. Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.

Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam kitab Sanghyang siksakanda ng karesian, sebuah kitab yang berasal dari zaman kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan dan pelajaran budi pekerti. Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Budha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang. Hanya dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Kekuasaan tertinggi berada pada Sang Hyang Kersa (Yang Mahakuasa) atau Nu Ngersakeun (Yang Menghendaki). Dia juga disebut sebagai Batara Tunggal (Tuhan yang Mahaesa), Batara Jagat (Penguasa Alam), dan Batara Seda Niskala (Yang Gaib). Dia bersemayam di Buana Nyungcung. Semua dewa dalam konsep Hindu (Brahma, Wishnu, Shiwa, Indra, Yama, dan lain-lain) tunduk kepada Batara Seda Niskala.

Ada tiga macam alam dalam kepercayaan Sunda Wiwitan seperti disebutkan dalam pantun mengenai mitologi orang Kanekes:
  1. Buana Nyungcung: tempat bersemayam Sang Hyang Kersa, yang letaknya paling atas
  2. Buana Panca Tengah: tempat berdiam manusia dan makhluk lainnya, letaknya di tengah
  3. Buana Larang: neraka, letaknya paling bawah
Antara Buana Nyungcung dan Buana Panca Tengah terdapat 18 lapis alam yang tersusun dari atas ke bawah. Lapisan teratas bernama Bumi Suci Alam Padang atau menurut kropak 630 bernama Alam Kahyangan atau Mandala Hyang. Lapisan alam kedua tertinggi itu merupakan alam tempat tinggal Nyi Pohaci Sanghyang Asri dan Sunan Ambu.

Sang Hyang Kersa menurunkan tujuh batara di Sasaka Pusaka Buana. Salah satu dari tujuh batara itu adalah Batara Cikal, paling tua yang dianggap sebagai leluhur orang Kanekes. Keturunan lainnya merupakan batara-batara yang memerintah di berbagai wilayah lainnya di tanah Sunda. Pengertian nurunkeun (menurunkan) batara ini bukan melahirkan tetapi mengadakan atau menciptakan.
Paham atau ajaran dari suatu agama senantiasa mengandung unsur-unsur yang tersurat dan yang tersirat. Unsur yang tersurat adalah apa yang secara jelas dinyatakan sebagai pola hidup yang harus dijalani, sedangkan yang tersirat adalah pemahaman yang komprehensif atas ajaran tersebut. Ajaran Sunda Wiwitan pada dasarnya berangkat dari dua prinsip, yaitu Cara Ciri Manusia dan Cara Ciri Bangsa.

Cara Ciri Manusia adalah unsur-unsur dasar yang ada di dalam kehidupan manusia. Ada lima unsur yang termasuk di dalamnya:
  • Welas asih: cinta kasih
  • Undak usuk: tatanan dalam kekeluargaan
  • Tata krama: tatanan perilaku
  • Budi bahasa dan budaya
  • Wiwaha yudha naradha: sifat dasar manusia yang selalu memerangi segala sesuatu sebelum melakukannya
Prinsip yang kedua adalah Cara Ciri Bangsa. Secara universal, semua manusia memang mempunyai kesamaan di dalam hal Cara Ciri Manusia. Namun, ada hal-hal tertentu yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. Dalam ajaran Sunda Wiwitan, perbedaan-perbedaan antarmanusia tersebut didasarkan pada Cara Ciri Bangsa yang terdiri dari:
  • Rupa
  • Adat
  • Bahasa
  • Aksara
  • Budaya
Untuk menghormati tempat suci dan keramat (Kabuyutan, yang disebut Sasaka Pusaka Buana dan Sasaka Domas) serta menaati serangkaian aturan mengenai tradisi bercocok tanam dan panen, maka ajaran Sunda Wiwitan mengenal banyak larangan dan tabu. Tabu (dalam bahasa orang Kanekes disebut "Buyut") paling banyak diamalkan oleh mereka yang tinggal di kawasan inti atau paling suci, mereka dikenal sebagai orang Baduy Dalam. Tabu utama yang diajarkan di dalam Sunda Wiwitan ada 2 yaitu;
  • Yang tidak disenangi orang lain dan yang membahayakan orang lain.
  • Yang bisa membahayakan diri sendiri.

Meskipun sudah terjadi inkulturasi dan banyak orang Sunda yang memeluk agama-agama di luar Sunda Wiwitan, paham dan adat yang telah diajarkan oleh agama ini masih tetap dijadikan penuntun di dalam kehidupan orang-orang Sunda. Secara budaya, orang Sunda belum meninggalkan agama Sunda ini.

4. Agama Sunda.
Adalah kepercayaan sejumlah masyarakat yang tersebar di daerah Kecamatan Cigugur, Kuningan, Jawa Barat. Agama ini juga dikenal sebagai Cara Karuhun Urang (tradisi nenek moyang), sebagian kalangan memasukkannya ke dalam agama Sunda Wiwitan, Ajaran Madrais atau Agama Cigugur. Abdul Rozak, seorang peneliti kepercayaan Sunda, menyebutkan bahwa agama ini adalah bagian dari Agama Buhun, yaitu kepercayaan tradisional masyarakat Sunda yang tidak hanya terbatas pada masyarakat Cigugur di Kabupaten Kuningan, tetapi juga masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, para pemeluk "Agama Kuring" di daerah Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, dll.

Agama Sunda ini dikembangkan oleh Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan. Oleh pemerintah Belanda, Madrais belakangan ditangkap dan dibuang ke Ternate, dan baru kembali sekitar tahun 1920 untuk melanjutkan ajarannya.
Madrais — yang biasa juga dipanggil Kiai Madrais — adalah keturunan dari Kesultanan Gebang, sebuah kesultanan di wilayah Cirebon Timur. Ketika pemerintah Hindia Belanda menyerang kesultanan ini, Madrais diungsikan ke daerah Cigugur. Sang pangeran yang juga dikenal sebagai Pangeran Sadewa Alibasa, dibesarkan dalam tradisi Islam dan tumbuh sebagai seorang spiritualis. Ia mendirikan pesantren sebagai pusat pengajaran agama Islam, namun kemudian mengembangkan pemahaman yang digalinya dari tradisi pra-Islam masyarakat Sunda yang agraris. Ia mengajarkan pentingnya menghargai cara dan ciri kebangsaan sendiri, yaitu Sunda.

Madrais menetapkan tanggal 22 Rayagung menurut kalender Sunda sebagai hari raya Seren Taun yang diperingati secara besar-besaran. Upacara ini dipusatkan di Paseban Tri Panca Tunggal, rumah peninggalan Kiai Madrais yang didirikan pada 1860, dan yang kini dihuni oleh Pangeran Djatikusuma. Upacara ini dirayakan sebagai ungkapan syukur untuk hasil bumi yang telah dikaruniakan oleh Tuhan kepada manusia. Upacara "Seren Taun" yang biasanya berlangsung hingga tiga hari dan diwarnai oleh berbagai kesenian daerah ini, pernah dilarang oleh pemerintah Orde Baru selama 17 tahun, namun kini upacara ini dihidupkan kembali. Salah satu upacara "Seren Taun" pernah dihadiri oleh Menteri Perindustrian, Andung A. Nitimiharja, Presiden RI ke 4 Abdurahman Wahid, serta sejumlah pejabat pemerintah lainnya.
Madrais juga mengajarkan penghormatan terhadap Dewi Sri (Sanghyang Sri) melalui upacara-upacara keagamaan penanaman padi. Ia memuliakan Maulid serta semua Nabi yang diturunkan ke bumi.
Selain itu karena non muslim, Agama Sunda atau ajaran Madrais ini tidak mewajibkan khitanan dan jenazah orang yang meninggal harus dikuburkan dalam sebuah peti mati.

5. Buhun.
Diduga sebagai Jati Sunda atau agama sunda murni yang belum tercampur oleh agama lain seperti Hindu, Budha, Islam dan agama kepercayaan lain.
Dari etimologi bahasa Bu-hun berasal dari dua kata yaitu Bu dan Hun, Bu diduga diambil dari kata Bu-yut atau Kabuyutan yang merupakan tempat pemujaan roh nenek moyang orang Sunda pada jaman dulu dan Hun yang mungkin diambil dari kata Ka-Ru-Hun atau nenek moyang orang sunda. Banyak kata dalam Bahasa Sunda yang hampir mirip dengan kata Buhun. 

6. Kejawen.
Kejawen (bahasa jawa Kejawèn) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut di pulau Jawa oleh suku Jawa dan suku bangsa lainnya yang menetap di Jawa.
Kejawen hakikatnya adalah suatu filsafat di mana keberadaanya ada sejak orang Jawa itu ada. Hal tersebut dapat dilihat dari ajarannya yang universal dan selalu melekat berdampingan dengan agama yang dianut pada zamannya. Kitab-kitab dan naskah kuno Kejawen tidak menegaskan ajarannya sebagai sebuah agama meskipun memiliki laku.

salah satu ritual Kejawen

Sejak dulu, orang Jawa mengakui keesaan Tuhan sehingga menjadi inti ajaran Kejawen, yaitu mengarahkan insan: Sangkan Paraning Dumadhi (Dari mana datang dan kembalinya hamba Tuhan) dan membentuk insan se-iya se-kata dengan tuhannya : Manunggaling Kawula lan Gusthi (Bersatunya Hamba dan Tuhan). Dari kemanunggalan itu, ajaran Kejawen memiliki misi sebagai berikut:
  1. Mamayu Hayuning Pribadhi (sebagai rahmat bagi diri pribadi)
  2. Mamayu Hayuning Kaluwarga (sebagai rahmat bagi keluarga)
  3. Mamayu Hayuning Sasama (sebagai rahmat bagi sesama manusia)
  4. Mamayu Hayuning Bhuwana (sebagai rahmat bagi alam semesta)
Berbeda dengan kaum abangan kaum Kejawen relatif taat dengan agamanya, dengan menjauhi larangan agamanya dan melaksanakan perintah agamanya namun tetap menjaga jatidirinya sebagai orang pribumi, karena ajaran filsafat kejawen memang mendorong untuk taat terhadap Tuhannya. jadi tidak mengherankan jika ada banyak aliran filsafat kejawen menurut agamanya yang dianut seperti : Islam Kejawen, Hindu Kejawen, Kristen Kejawen, Budha Kejawen, Kejawen Kapitayan (Kepercayaan) dengan tetap melaksanakan adat dan budayanya yang tidak bertentangan dengan agamanya.

Kejawen dalam opini umum berisikan tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap serta filosofi orang-orang Jawa. Kejawen juga memiliki arti spiritualistis suku Jawa, laku olah sepiritualis kejawen yang utama adalah Pasa (Berpuasa) dan Tapa (Bertapa).
Penganut ajaran Kejawen biasanya tidak menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik, seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan "ibadah"). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat dan menekankan pada konsep "keseimbangan". Sifat Kejawen yang demikian memiliki kemiripan dengan Konfusianisme (bukan dalam konteks ajarannya). Penganut Kejawen hampir tidak pernah mengadakan kegiatan perluasan ajaran, tetapi melakukan pembinaan secara rutin.
Simbol-simbol "laku" berupa perangkat adat asli Jawa, seperti keris, wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti simbolik, dan sebagainya. Simbol-simbol itu menampakan kewingitan (wibawa magis) sehingga banyak orang (termasuk penghayat kejawen sendiri) yang dengan mudah memanfaatkan kejawen dengan praktik klenik dan perdukunan yang padahal hal tersebut tidak pernah ada dalam ajaran filsafat Kejawen.
Ajaran-ajaran Kejawen bervariasi, dan sejumlah aliran dapat mengadopsi ajaran agama pendatang, baik Hindu, Budha, Islam, maupun Kristen. Gejala sinkretisme ini sendiri dipandang bukan sesuatu yang aneh karena dianggap memperkaya cara pandang terhadap tantangan perubahan zaman.

Sultan Agung Mataram dianggap sebagai filsuf peletak pondasi Kejawen Muslim yang kemudian sangat mempengaruhi upacara-upacara penting terutama yang paling nampak adalah penanggalan dalam menentukan hari-hari penting. Semua hari-hari penting itu ditetapkan sesuai Kalender Jawa yang memiliki Primbon sebagai aturan-aturan dalam menentukan hari penting dan tata caranya. Berikut adalah hari-hari penting dalam Kejawen:
  1. Suran (Tahun Baru 1 Sura).
  2. Sepasaran (upacara kelahiran) dan Aqiqah bagi muslim.
  3. Mantenan (Pernikahan dengan segala upacaranya).
  4. Mangkat (Upacara Kematian) - Mengirim Do'a (Kanduri, Wirid, Ngaji) 7 Hari, 40 Hari, 100 Hari, 1000 Hari, 3000 Hari.
  5. Megeng Pasa - Tanggal 28 dan 29 Bulan Ruwah (Bulan Arwah) Yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah Mangkat / meninggal (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi.
  6. Megeng Sawal - Tanggal 29 dan 30 Bulan Pasa Yang digunakan untuk mengirim Do'a kepada yang telah Mangkat (berangkat) terlebih dahulu, juga waktu Munjung (mengirim makanan lengkap nasi dan lauk kepada orang yang dituakan dalam keluarga) untuk mengikat silaturahmi bagi yang tidak ada kesempatan pada Megeng Pasa.
  7. Riadi Kupat (Hari Raya Kupat) - Tanggal 3, 4 dan 5 Bulan Sawal (Bagi orang tua yang ditinggalkan anaknya sebelum menikah).
salah seorang penganut Kejawen sedang melakukan Tapa pada jaman Hindia Belanda

Karena filsafat Kejawen juga beragama, hari besar agama juga merupakan hari penting kejawen. Berikut ini adalah beberapa hari penting tambahan untuk kejawen muslim:
  1. Hari Raya Idul Fitri
  2. Hari Raya Idul Adha.
  3. Hari Raya Jum'at.
  4. Muludan (Maulid Kanjeng Nabi Muhammad, S.A.W.)
  5. Sekaten (Syahadatain)
Para penganut Kejawen sangat menyukai berpuasa dalam ajaran islam karena dianggap sama dengan ajaran leluhurnya selain juga tafakur yang dianggap sama dengan bertapa.
  1. Pasa Weton - berpuasa pada hari kelahiranya sesuai penanggalan jawa.
  2. Pasa Sekeman - Puasa pada hari senin dan kamis.
  3. Pasa Wulan - Puasa pada setiap tanggal 13, 14, dan 15 pada setiap bulan Kalender Jawa.
  4. Pasa Dawud - Puasa selang-seling, sehari puasa-sehari tidak.
  5. Pasa Ruwah - Puasa pada hari-hari bulan Ruwah (Bulan Arwah).
  6. Pasa Sawal - Puasa enam hari pada bulan Sawal kecuali tanggal 1 Sawal.
  7. Pasa Apit Kayu - Puasa 10 hari pertama pada bulan ke-12 kalender jawa.
  8. Pasa Sura - Puasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Sura.
Selain puasa di atas, Kejawen juga memiliki puasa Kejawen yang biasanya untuk menggambarkan kezuhudan (kesungguhan) dalam mencapai keinginan, jenis puasa tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Pasa Mutih - puasa ini dilakukan dengan jalan hanya boleh makan nasi putih, tanpa garam dan lauk pauk atau makanan kecil dan lain-lain, serta minumnya juga air putih.
  2. Pasa Patigeni - puasa tidak boleh makan, minum dan tidur serta hanya boleh dikamar saja tanpa disinari cahaya lampu.
  3. Pasa Ngebleng - puasa tidak boleh makan dan minum, tidak boleh keluar kamar, boleh keluar sekedar buang hajat dan boleh tidur tetapi sebentar saja.
  4. Pasa Ngalong - puasa tidak makan dan minum tetapi boleh tidur sebentar saja dan boleh pergi.
  5. Pasa Ngrowot - puasa yang tidak boleh makan nasi dan hanya boleh makan buah-buahan atau sayur-sayuran saja.
Kejawen tidak memiliki Kitab Suci, tetapi orang Jawa memiliki bahasa sandi yang dilambangkan dan disiratkan dalam semua sendi kehidupannya dan mempercayai ajaran-ajaran Kejawen tertuang di dalamnya tanpa mengalami perubahan sedikitpun karena memiliki pakem (aturan yang dijaga ketat), kesemuanya merupakan ajaran yang tersirat untuk membentuk laku utama yaitu Tata Krama (Aturan Hidup Yang Luhur) untuk membentuk orang jawa yang hanjawani (memiliki akhlak terpuji), hal-hal tersebut terutama banyak tertuang dalam karya tulis dengan Aksara Jawa Kuno dan Bahasa Jawa Kuno atau disebut juga Bahasa Kawi, diantaranya; Kakawin (sastra kuno) – 5 kitab, Babad (sejarah – sejarah) – lebih dari 15 kitab, Serat (sastra baru) – lebih dari 82 kitab dan beberapa diantaranya ditulis menggunakan Huruf Pegon, Suluk (Jalan Sepiritual) – lebih dari 35 kitab, Kidungan (Do'a-Do'a) – 7 kitab, Primbon (Ramalan-Ramalan), Piwulang Kautaman (Ajaran Utama) – kitab yang terdiri dari Pituduh (Perintah) dan Wewaler (Larangan) untuk membentuk pribadi yang hanjawani.

Terdapat ratusan aliran kejawen dengan penekanan ajaran yang berbeda-beda. Beberapa jelas-jelas sinkretik, yang lainnya bersifat reaktif terhadap ajaran agama tertentu. Namun biasanya ajaran yang banyak anggotanya lebih menekankan pada cara mencapai keseimbangan hidup dan tidak melarang anggotanya mempraktikkan ajaran agama (lain) tertentu.
Beberapa aliran dengan anggota besar:
  • Padepokan Cakrakembang
  • Sumarah Purbo
  • Budi Dharma
  • Maneges
Aliran yang bersifat reaktif misalnya aliran yang mengikuti ajaran Sabdopalon yang ingin mengembalikan agama Orang Jawa kembali ke Agama Buda yang dianggap sebagai agama asli menurut Sabdapalon, atau penghayat ajaran Syekh Siti Jenar yang merupakan ajaran / aliran Islam yang telah ditetapkan sesat oleh Wali Sanga.

7. Parmalim.
Ugamo Malim adalah agama asli yang dianut Bangso Batak sebelum agama Islam, Kristen dan Katolik dianut sebagian besar Batak Toba. Penganut Ugamo Malim disebut Parmalim, pimpinan tertinggi Ugamo Malim adalah Raja Sisingamangaraja I-XII. Saat ini Parmalim yang tersisa di Tano Batak hanya sekitar 10.000 orang. Ugamo Malim terpusat di Huta Tinggi, Laguboti Kabupaten Tobasa. Pimpinan Parmalim saat ini adalah Raja Marnangkok Naipospos, meneruskan kepemimpinan Raja Sisingamangaraja Sinambela XII.
Yang menarik adalah Ugamo Malim ini memiliki banyak kesamaan dan kemiripan dengan Agama Yahudi Kuno. Ugamo Malim telah diturunkan dari generasi ke generasi oleh Leluhur Bangso Batak (30-35 generasi) berdasarkan Tarombo (Silsilah) yang dimiliki Bangso Batak, satu generasi sekitar 25 tahun.
Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu [bulan] Pertama) serta Si Pahalima (yaitu [bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.

8. Kaharingan.
Kaharingan adalah kepercayaan tradisional suku Dayak di Kalimantan, ketika agama lain belum memasuki Kalimantan. Istilah Kaharingan artinya tumbuh atau hidup, seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun dan dihayati oleh masyarakat Dayak di Kalimantan. Oleh pemerintah Indonesia, Kaharingan dimasukkan dalam kategori agama Hindu dengan pertimbangan adanya persamaan dalam hal ritual sesaji.

Sandung Dayak Pesaguan di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat

Kaharingan ini pertama kali diperkenalkan oleh Tjilik Riwut tahun 1944, saat ia menjabat Residen Sampit yang berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan Agama Dayak. Sementara pada masa Orde Baru, para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.
Lambat laun, Kaharingan mempunyai tempat ibadah yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan. Kitab suci agama mereka adalah Panaturan dan buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan Doa), Tawar (petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur beras), dan sebagainya.

Hingga kini penganut Kaharingan masih memperjuangkan hak, yaitu Kaharingan yang merupakan kepercayaan nenek moyang secara turun-temurun agar diakui sebagai agama di Indonesia. Belum diakuinya Kaharingan sebagai agama menyulitkan masyarakat adat Meratus. Ketika membuat E-KTP masyarakat adat Dayak Meratus harus mengosongkan kolom agama. Berdasarkan catatan Kedamangan Dayak Meratus, komunitas tersebut hingga 2003 mempunyai 60.000 orang anggota, sekitar dua persen dari penduduk Kalsel yang sekarang berjumlah 3,6 juta jiwa.

Di Malaysia Timur (Sarawak dan Sabah), dikarenakan pemerintah Malaysia tidak mengakui agama Hindu maka kepercayaan Dayak ini juga tidak diakui sebagai bagian umat beragama Hindu dan dianggap sebagai masyarakat yang belum menganut suatu agama (Ateis). Kebanyakan Dayak di Malaysia beragama Kristen.

9. Tonaas Walian.

Pemimpin Minahasa jaman dulu terdiri dari dua golongan yakni Walian dan Tona’as.

Walian mempunyai asal kata “Wali” yang artinya mengantar jalan bersama dan memberi perlindungan.
Golongan ini mengatur upacara agama asli Minahasa hingga disebut golongan Pendeta. Mereka ahli membaca tanda-tanda alam dan benda langit, menghitung posisi bulan dan matahari dengan patokan gunung, mengamati munculnya bintang-bintang tertentu seperti “Kateluan” (bintang tiga), “Tetepi” (Meteor) dan sebagainya untuk menentukan musim menanam. Menghafal urutan silsilah sampai puluhan generasi, menghafal cerita-cerita dari leluhur-leluhur Minahasa yang terkenal dimasa lalu.

Golongan kedua adalah golongan Tona’as yang mempunyai kata asal “Ta’as”. Kata ini diambil dari nama pohon kayu yang besar dan tumbuh lurus keatas dimana segala sesuatu yang berhubungan dengan kayu-kayuan seperti hutan, rumah, senjata tombak, pedang dan panah, perahu. Selain itu golongan Tona’as ini juga menentukan di wilayah mana rumah-rumah itu dibangun untuk membentuk sebuah Wanua (Negeri) dan mereka juga yang menjaga keamanan negeri maupun urusan berperang.

Sebelum abad ke-7, masyarakat Minahasa berbentuk Matriargat (hukum ke-ibuan). Bentuk ini digambarkan bahwa golongan Walian wanita yang berkuasa untuk menjalankan pemerintahan “Makarua Siouw”, mereka adalah Dewan 18 orang leluhur dari tiga Pakasa’an (Kesatuan Walak-Walak Purba).

Enam leluhur dari Tongkimbut (Tontemboan sekarang) adalah;
·         Ramubene, suaminya Mandei.
·         Riwuatan Tinontong (penenun), suaminya Makaliwe berdiam di wilayah yang sekarang Mongondouw.
·         Pinu’puran, suaminya Mangalu’un (Kalu’un sama dengan sembilan gadis penari).
·         Rukul suaminya bernama Suawa berdiam di wilayah yang sekarang Gorontalo.
·         Lawi Wene suaminya Manambe’an (dewa angin barat) Sambe’ang artinya larangan (posan).
·         Maka Roya (penyanyi Mareindeng) suaminya bernama Manawa’ang.

Sedangkan enam leluhur yang berasal dari Tombulu adalah;
·         Katiwi dengan suaminya Rumengan (gunung Mahawu).
·         Katiambilingan dengan suaminya Pinontoan (Gunung Lokon).
·         Winene’an dengan suaminya Manarangsang (Gunung Wawo).
·         Taretinimbang dengan suaminya Makawalang (gunung Masarang).
·         Wowriei dengan suaminya Tingkulengdengan (dewa pembuat rumah, dewa musik kolintang kayu).
·         Pahizangen dengan suaminya Kumiwel ahli penyakit dari Sarangsong.

Sementara itu enam leluhur yang berasal dari Tontewo (wilayah timur Minahasa) terdiri dari;
·         Mangatupat dengan suaminya Manalea (dewa angin timur).
·         Poriwuan bersuami Soputan (gunung Soputan).
·         Mongindouan dengan suaminya Winawatan di wilayah Paniki.
·         Inawatan dengan suaminya Kuambong (dewa anwan rendah atau kabut).
·         Manambeka (sambeka sama dengan kayu bakar di pantai) dewa angin utara, istrinya tidak diketahui namanya.
·         Istri Lolombulan.

Pada abad ke-7 telah terjadi perubahan pemerintahan. Pada waktu itu di Minahasa – yang sebelumnya dipegang golongan Walian Wanita - beralih ke pemerintahan golongan Tona’as Pria. Mulai dari sini masyarakat Matriargat Minahasa yang tadinya menurut hukum ke-Ibuan berubah menjadi masyarakat Patriargat (hukum ke-Bapaan). Menjalankan pemerintahan “Makatelu pitu" atau Dewan 21 orang leluhur pria.

Wakil-wakil dari tiga Pakasa’an Toungkimbut, Toumbulu, Tountowo, mereka adalah; Kumokomba yang dilantik menjadi Muntu-Untu sebagai pemimpin oleh ketua dewan tua-tua “Potuosan” bernama Kopero dari Tumaratas. Mainalo dari Tounsea sebagai wakil, Siouw Kurur asal Pinaras sebagai penghubung dibantu Rumimbu’uk (Kema) dan Tumewang (Tondano) Marinoya kepala Walian, Mio-Ioh kepala pengadilan dibantu Tamatular (Tomohon) dan Tumilaar (Tounsea), Mamarimbing ahli meramal mendengar bunyi burung, Rumoyong Porong panglima angkatan laut di pulau Lembe, Pangerapan di Pulisan pelayaran perahu, Ponto Mandolang di Pulisan pengurus pelabuhan-pelabuhan, Sumendap di Pulisan pelayaran perahu, Roring Sepang di awaon Tompaso, pengurus upacara-upacara di batu Pinawetengan, Makara’u (Pinamorongan), Pana’aran (Tanawangko), Talumangkun (Kalabat), Makarawung (Amurang), REPI (Lahendong), Pangembatan (Lahendong).

Dalam buku “Toumbulusche Pantheon” tulisan J.G.F. Riedel tahun 1894 telah dikemukakan tentang sistem dewa-dewa Toumbulu yang ternyata mempunya sistem pemerintahan dewa-dewa seluruh Minahasa dengan jabatan yang ditangani leluhur tersebut. Pemerintahan golongan Tona’as abad ke-tujuh sudah punya satu pimpinan dengan gelar Muntu-Untu yang dijabat secara bergantian oleh ketiga sub-etnis utama Minahasa. Misalnya leluhur Ponto Mandolang mengatur pelabuhan Amurang, Wenang (Manado) Kema dan Bentenan dengan berkedudukan di Tanjung Pulisan. Tiap sub-etnis Minahasa mempunya panglima perangnya sendiri-sendiri tapi panglima perang tertinggi adalah raja karena dilantik dan dapat diganti oleh dewan tua-tua yang disebut “Potuosan”.

10. Tolottang.
Tolotang (kadang ditulis Tolottang) adalah sebuah kepercayaan yang terutama dianut oleh suku Bugis di Kabupaten Sidenreng Rappang (disingkat menjadi Kabupaten Sidrap), Sulawesi Selatan.
Sekitar 5000 warga di wilayah itu menganut kepercayaan ini yang sudah turun temurun. Karena pemerintah mengakui enam agama, selebihnya dikategorikan sebagai Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, dan penganut Tolotang tidak mau disebut sebagai aliran kepercayaan, mereka menggabungkan diri dengan Agama Hindu sehingga sampai sekarang dikenal dengan nama Hindu Tolotang.

11. Wetu Telu.
Wetu Telu (Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam. Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap. Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik tersebut.

Pura Lingsar - Pura yang dipakai untuk beribadah oleh umat Wetu Telu

Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animism, dinamisme, kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni Sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno. Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan adalah para pemangku adat atau kiai saja. Diduga bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan. Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap. Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu Telu pada masa modern.
Penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan "Waktu Lima" karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang). Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup (kematian, kelahiran, penyembelihan hewan, selamatan dsb) harus diketahui oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.

12. Mulajadi na Bolon.
Mulajadi na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga dan Banua Toru. Ini dilakukan dengan istrinya Manuk Patiaraja yang kemudian melahirkan tiga buah telur. Dari tiga telur itu kemudian menetas Batara Guru, Soripada dan Mangala Bulan. Ketiga dewa ini yang kemudian menciptakan tiga tingkat dunia.

13. Marapu.
Marapu adalah sebuah agama atau kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk agama ini. Agama ini memiliki kepercayaan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Upacara keagamaan marapu seperti upacara kematian dan sebagainya selalu dilengkapi penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus dijaga di Pulau Sumba.
Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jazat hewan dimakan oleh orang yg hidup. Sama halnya dengan upacara yg lain.

14. Purwoduksino.
Salah satu cabang aliran Kejawen dengan ajaran utama untuk selalu ingat Tuhan dalam menjalani kehidupan.

15. Budi luhur.
Salah satu cabang aliran Kejawen dengan ajaran utama untuk selalu berbudi pekerti luhur terhadap sesama manusia dan mahluk hidup lain dalam menjalani kehidupan.

16. Pahkampetan.
Pahkampetan adalah orang yang tubuhnya biasa dipakai sebagai media untuk berkomunikasi dengan arwah para leluhur dalam upacara ritual adat kepercayaan di Watu Kameya yang berlokasi di wilayah Taingkere kelurahan Kakaskasen Satu, Kecamatan Tomohon Utara, Kota Tomohon, Provinsi Sulawesi Utara.

Sumber:
www.wikipedia.org
Petrik Matanasi www.tirto.id


1 comment: